PEMANFAATAN LIMBAH JAGUNG (TONGKOL, KLOBOT, DAN JERAMI) SEBAGAI PAKAN TERNAK
PEMANFAATAN
LIMBAH JAGUNG (TONGKOL, KLOBOT, DAN JERAMI) SEBAGAI PAKAN TERNAK
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Faktor utama penentu
keberhasilan dalam usaha peternakan adalah penyediaan pakan. Salah satu
penyediaan pakan bagi ternak ruminansia adalah dengan pemanfaatan pakan asal
sisa hasil pertanian, perkebunan maupun agroindustri. Salah satu sisa tanaman
pangan dan perkebunan yang mempunyai potensi cukup besar adalah jagung. Apabila
limbah yang banyak tersebut tidak dimanfaatkan, maka akan memicu terjadinya
pencemaran lingkungan. Pencemaran lingkungan merupakan masalah kita bersama,
yang semakin penting untuk diselesaikan, karena menyangkut keselamatan,
kesehatan, dan kehidupan kita. Siapapun bisa berperan serta dalam menyelesaikan
masalah pencemaran lingkungan ini, termasuk kita. Dimulai dari lingkungan yang
terkecil, diri kita sendiri, sampai ke lingkungan yang lebih luas. Untuk itu,
agar pencemaran limbah dapat diminimalisir perlu adanya pemanfaatan limbah agar
mempunyai daya guna.
Tanaman jagung
merupakan salah satu tanaman serelia yang tumbuh hampir di seluruh dunia dan
tergolong spesies dengan variabilitas genetic tebesar. Di Indonesia jagung
merupakan bahan makanan pokok kedua setelah padi. Banyak daerah di Indonesia
yang berbudaya mengkonsumsi jagung, antara lain Madura, Yogyakarta, Sulawesi
Selatan, Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur, dll.
Seiring dengan kebutuhan
jagung yang cukup tinggi, maka akan bertambah pula limbah yang dihasilkan dari
industri pangan dan pakan berbahan baku jagung. Salah satu contoh sampah organik adalah kulit jagung yang
merupakan limbah sector pertanian. Limbah kulit jagung yang sudah tak terpakai
ini bisa dimanfaatkan sebagai kerajinan tangan. Sehingga limbah kulit jagung
ini tidak menjadi sampah yang mencemari lingkungan. Kerajinan tangan dari kulit
jagung bisa bernilai ekonomis. Namun pada dasarnya limbah jagung berupa kulit
jagung atau klobot jagung sampai saat ini pemanfaatannya kurang maksimal,
padahal jumlahnya sangat melimpah ruah. Jika dibakar
menimbulkan pencemaran udara, jika dibuang ke sungai menyebabkan banjir,
tumpukannya bisa menyebabkan sarang penyakit.
Limbah yang dihasilkan diantaranya adalah jerami, klobot,
dan tongkol jagung yang biasanya tidak dipergunakan lagi ataupun nilai
ekonominya sangat rendah.
-
Jerami jagung/brangkasan adalah
bagian batang dan daun jagung yang telah dibiarkan mengering di ladang dan
dipanen ketika tongkol jagung dipetik. Jerami jagung seperti ini banyak
diperoleh di daerah sentra tanaman jagung yang ditujukan untuk menghasilkan
jagung bibit atau jagung untuk keperluan industri pakan; bukan untuk dikonsumsi
sebagai sayur (Mariyono et al., 2004).
-
Kulit buah jagung/klobot jagung adalah
kulit luar buah jagung yang biasanya dibuang. Kulit jagung manis sangat
potensial untuk dijadikan silase karena kadar gulanya cukup tinggi (Anggraeny et
al., 2005; 2006).
-
Tongkol jagung/janggel adalah
limbah yang diperoleh ketika biji jagung dirontokkan dari buahnya. Akan
diperoleh jagung pipilan sebagai produk utamanya dan sisa buah yang disebut
tongkol atau janggel (Rohaeni et al., 2006b).
POTENSI
-
Jumlah
dan Kandungan Limbah Jagung
Salah
satu sisa tanaman pangan dan perkebunan yang mempunyai potensi cukup besar
adalah tongkol jagung. Luas lahan panen tanaman jagung wilayah Provinsi Jawa
Tengah tahun 2011 yaitu 520.149 ha, dengan hasil tongkol jagung lebih kurang
sebanyak 2.772.575 ton. Potensi pengembangan lahan jagung di NTB seluas 404
ribu hektar lebih, tetapi yang baru tertanami pada tahun 2010 seluas 97.120
hektar, dengan rincian musim hujan seluas 74.185 hektar dan musim kemarau
seluas 22.935 hektar (DIPERTA NTB, 2011). Jika luas areal penanaman jagung di NTB
pada Musim hujan adalah 74.185 hektar, dengan asumsi jumlah brangkasan kering
jagung (varietas Bima-4) sebanyak 4.026 kg/ha/musim, dengan kebutuhan sapi
sebanyak 7,5 kg/ekor/hari maka akan dapat memenuhi kebutuhan pakan sapi
sebanyak 109.051 ekor/tahun pada musim hujan.
Tongkol jagung atau
janggel, merupakan bagian dari buah jagung setelah biji dipipil. Kandungan
nutrisi tongkol jagung berdasarkan analisis di Laboratorium Ilmu Makanan Ternak
meliputi kadar air, bahan kering, protein kasar dan serat kasar berturut-turut
sebagai berikut 29,54; 70,45; 2,67 dan 46,52% dalam 100% bahan kering BK).
Jerami
jagung yang kering ataupun yang dibuat silase tidak dapat digunakan sebagai
sumber karotenoid karena kandungan karotenoidnya sangat rendah yaitu 70 – 80
mg/kg, terdiri dari 3 – 10 mg/kg epilutein, 25 – 37 mg/kg lutein, 6 – 10 mg/kg
zeaxanthin, 24 – 35 mg/kg β-
karoten (Noziere et al., 2006). Oleh sebab itu, bila sapi perah diberi
silase jerami jagung sebagai sumber hijauan, sangat dianjurkan untuk memberikan
tambahan β-karoten dari sumber
lain karena kebutuhan karoten dan vitamin A sapi perah yang tinggi yaitu
masing-masing 280 IU/kg bobot hidup dan 110 IU/ kg bobot hidup per hari (NRC,
2001).
Dari hasil analisis proksimat (%) yang dilakukan
oleh Akil, et al (2004), bahwa kelobot jagung lebih rendah dari
brangkasan, kandungan protein kasar kelobot jagung 3 kali protein kasar
brangkasan, dan lemak kasar kelobot 2 kali lemak kasar brangkasan.
Nilai nutrisi dari limbah tanaman dan hasil samping
industri jagung sangat bervariasi (Tabel 1 dan 2). Kulit jagung mempunyai nilai
kecernaan bahan kering in vitro yang tertinggi (68%) sedangkan batang jagung
merupakan bahan yang paling sukar dicerna di dalam rumen (51%) (Mccutcheon dan
Samples, 2002). Nilai kecernaan kulit jagung dan tongkol (60%) ini hampir sama
dengan nilai kecernaan rumput Gajah sehingga kedua bahan ini dapat menggantikan
rumput Gajah sebagai sumber hijauan. Total nutrien tercerna (TDN) yang tertinggi
terkandung pada silase tanaman jagung termasuk buah yang matang sedangkan yang terendah
dijumpai pada tongkol (Tabel 2). Faktor yang penting dalam menyusun ransum
komplit adalah nilai TDN. Kebutuhan TDN untuk penggemukan sapi potong maupun
sapi perah cukup tinggi dan syarat minimum TDN dapat dilihat dalam NRC (2001).
-
Kualitas
Palatabilitas tongkol
jagung yang rendah masih dapat dimanfaatkan sebagai pakan ruminansia dengan
pengolahan terlebih dahulu (Wardhani dan Musofie, 1991). Peningkatan kualitas
nutrisi pada tongkol jagung melalui pengurangan ukuran partikel dan fermentasi
secara nyata dapat meningkatkan protein kasar, namun tidak mampu memperbaiki
nilai nutrisi pada serat kasar maupun pada total digestible nutrients (TDN).
Nilai palatabilitas yang diukur secara kualitatif menunjukkan
bahwa daun dan kulit jagung lebih disukai oleh ternak dibandingkan dengan
batang ataupun tongkol (Wilson et al., 2004). Nilai proporsi limbah yang
hampir sama dilaporkan oleh Anggraeny et al. (2006) yaitu limbah dari
beberapa varietas jagung yang dikembangkan oleh Balai Penelitian Jagung dan Serealia,
Maros. Proporsi batang bervariasi antara 55,38 – 62,29%, proporsi daun antara
22,57 – 27,38% dan proporsi klobot antara 11,88 – 16,41%. Dalam studi Anggraeny
et al. (2006), tongkol jagung tidak diperhitungkan dalam proporsi limbah
Brangkasan jagung baik diberikan untuk ternak sapi
karena mengandung serat dan protein yang cukup. Pakan dari brangkasan jagung
memiliki kualitas yang lebih baik dari jerami padi, karena brangkasan jagung memiliki
kandungan serat kasar 27,8% dan protein 7,4% sementara padi kandungan serat kasar
28,8% dan protein 4,5% (Subandi dan Zubachtirodin, 2004).
-
Proses
Beberapa
pendekatan untuk meningkatkan mutu limbah hasil petanian dan perkebunan sebagai
pakan ternak telah dikembangkan, antara lain melalui pengolahan (pretreatment)
limbah hasil pertanian, suplementasi pakan dan pemilihan limbah pertanian dan
perkebunan.
Peningkatan mutu limbah hasil pertanian dan perkebunan
sebagai pakan ternak umumnya dilakukan melalui pengolahan terlebih dahulu sebelum
limbah pertanian dan perkebunan diberikan kepada ternak, yang secara garis besarnya
terdiri dari:
1.
Perlakuan fisik: pemotongan menjadi bagian yang lebih kecil,
penggilingan, pemanasan, perendaman, pengeringan atau penyinaran.
2.
Perlakuan kimia: dengan penambahan basa, asam dan oksidasi seperti
penambahan NaOH, Ca(OH)2, ammonium hidroksida, gas klor dan sulfur dioksida.
3.
Perlakuan biologi: melalui pengomposan, fermentasi, penambahan enzim,
atau menumbuhkan jamur dan bakteri.
4.
Kombinasi diantara ketiga perlakuan tersebut diatas.
Metoda fisik yang
terdiri dari pemotongan, pemanasan, penggilingan, pengeringan dan penyinaran
diketahui tidak akan merubah nilai nutrisi suatu bahan pakan ternak. Oleh
karena itu pendekatan ini jarang dilakukan dalam penyediaan pakan untuk ternak.
Namun demikian metoda ini khususnya pemanasan dan pengeringan dapat digunakan
untuk mengurangi toksisitas suatu tanaman.
Sementara itu, metoda kimiawi yang terdiri dari
penambahan asam, basa dan oksidasi merupakan metoda yang sering diterapkan peternak
untuk meningkatkan mutu nutrisi pakan ternak (Doyle et al., 1986). Penambahan
basa merupakan pengolahan bahan pakan ternak yang paling banyak dilakukan untuk
meningkatkan mutu nutrisi pakan ternak. Tujuan penambahan senyawa basa ini
adalah untuk memecah ikatan ester lignohemiselulosa sehingga meningkatkan
kecernaan pakan tersebut. Larutan basa yang umum digunakan terdiri dari sodium
hidroksida (NaOH), kalsium hidroksida [Ca(OH)2], potasium hidroksida (KOH),
urea dan larutan karbon kaustik.
Pemberian jerami jagung, tumpi atau tongkol ada
kalanya dicampur dengan sumber serat lainnya seperti rumput Gajah (Mariyono et
al., 2004) atau jerami padi (Umiyasih et al., 2004). Hal ini
dilakukan bila ketersediaan sumber serat lain melimpah. Pemberian pakan tambahan/suplemen
selain jerami, tumpi atau tongkol jagung dapat meningkatkan PBHH. Pemberian
jerami jagung yang difermentasi tanpa pakan konsentrat memberikan PBHH sapi
yang paling rendah (0,46 kg/hari) dibandingkan dengan penelitian lain.
Sedangkan pemberian pakan suplemen seperti dedak menyebabkan PBHH yang lebih
baik (Mariyono et al., 2005). PBHH akan semakin tinggi bila pemberian
jerami disertai dengan konsentrat dan juga suplemen multi nutrien (Anggraeny et
al., 2005), atau vitamin dan mineral (Umiyasih et al., 2006).
Dalam memanfaatkan limbah hasil pertanian dan
perkebunan sebagai pakan ternak, seleksi jenis limbah tanaman perlu dilakukan
untuk mengurangi efek samping terhadap kesehatan ternak dan keamanan produknya.
Seleksi dapat dilakukan dengan mengetahui terlebih dahulu mutu nutrisi pakan limbah
pertanian dan perkebunan, kandungan toksin dan/atau antinutrisi didalam tanaman
dan cemaran berbahaya pada tanaman. Seiring dengan meningkatnya aktivitas
pertanian organik saat ini, maka limbah hasil pertanian organik tersebut
merupakan alternatif yang dapat diterapkan untuk mendapatkan pakan limbah yang
mampu mengurangi resiko terjadinya residu bahan beracun berbahaya pada produk
ternak serta mengurangi ancaman terhadap kesehatan ternak. Pertanian organik
merupakan salah satu pendekatan alternatif untuk meminimalisasi residu
pestisida baik pada produk ternak, pertanian maupun kontaminasi pada lahan pertanian.
Indraningsih et al., (2004) melakukan serangkaian pengamatan penggunaan
limbah hasil pertanian organic sebagai pakan terhadap residu pestisida pada produk
ternak.
KENDALA
Tanaman jagung termasuk
jenis tanaman pangan yang diketahui banyak mengandung serat kasar dimana
tersusun atas senyawa kompleks lignin, hemiselulose dan selulose
(lignoselulose), dan masing-masing merupakan senyawa-senyawa yang potensial
dapat dikonversi menjadi senyawa lain secara biologi. Selulose merupakan sumber
karbon yang dapat digunakan mikroorganisme sebagai substrat dalam proses fermentasi untuk menghasilkan
produk yang mempunyai nilai ekonomi tinggi (Aguirar, 2001; Suprapto dan Rasyid,
2002).
Tongkol jagung merupakan sisa hasil pertanian yang
masih memiliki kualitas yang rendah. Tongkol jagung digunakan sebagai bahan
konsentrat pada pakan ternak ruminansia. Kandungan serat kasar tinggi, protein
dan kecernaan rendah. Oleh karena itu, dalam pemanfaatannya sebagai bahan
pakan, tongkol jagung perlu ditingkatkan kualitasnya antara lain dengan
teknologi pengolahan amoniasi fermentasi (amofer).
Limbah perkebunan jagung bukanlah pakan yang
berkualitas baik karena mengandung kadar protein dan karotenoid yang rendah dan
kadar serat yang tinggi dan juga mudah ditumbuhi cendawan pada kondisi suhu
panas.. Bila limbah perkebunan ini diberikan kepada ternak tanpa disuplementasi
atau diberi perlakuan sebelumnya maka nutrisi limbah ini tidak akan cukup untuk
mempertahankan kondisi ternak. Oleh sebab itu, disarankan pencampuran jerami jagung
dengan leguminosa sebagai sumber protein ketika akan diberikan ke ternak atau
bila hendak dibuat silase (Kaiser dan Piltz, 2002).
Penggunaan limbah hasil pertanian/perkebunan sebagai
pakan ternak terlihat mudah dan ekonomis, namun perlu memperhatikan akan timbulnya
residu kimiawi di dalam produk ternak yang dihasilkan serta kandungan antinutrisi
atau toksin yang terdapat di dalam limbah hasil pertanian tersebut. Beberapa tanaman
pangan maupun perkebunan dilaporkan terdapat toksin dan antinutrisi yang dapat
mempengaruhi kesehatan ternak.
Pada tanaman jagung biasanya terdapat Pestisida dan
Mikotoksin. Pestisida ternyata memiliki beberapa kelemahan berupa efek samping
terhadap kesehatan ternak dan manusia yang bukan merupakan target utamanya.
Efek toksik dari pestisida terhadap berbagai hewan non-target seperti unggas,
sapi dan bahkan manusia telah banyak dilaporkan (Sabrani dan Setioko, 1983;
Indraningsih, 1988; Njau, 1988).
Keracunan pestisida organofosfat (OP) pada sapi
perah di Jawa Barat terlihat setelah diberi pakan hijauan yang terkontaminasi
yang meliputi hiperemia mata, eksudasi cairan mukus pada mata, hipersalivasi,
diare, sesak napas dan kematian ternak (Indraningsih, 1988). Disamping itu
residu pestisida dapat terbentuk di dalam produk ternak akibat penggunaan yang
berlebihan tanpa mengikuti petunjuk aturan pakai yang telah disarankan oleh
produsen. Residu pestisida dalam produk ternak dapat mempengaruhi kesehatan masyarakat
sebagai konsumen produk ternak tersebut seperti gejala keracunan, imunosupresi dan
karsinogenik (Goebel et al., 1982; Varsheya et al., 1988).
Jagung mudah ditumbuhi cendawan (mikotoksin) bila
kadar airnya lebih dari 14% atau aw = 0,62. Cendawan akan lebih mudah tumbuh
kalau jagung basah disimpan di ruangan yang panas dan lembab. Apabila cendawan
yang tumbuh menghasilkan racun maka racun tersebut berpengaruh buruk terhadap
ternak. Beberapa jenis racun cendawan atau mikotoksin ditemukan pada jagung, termasuk
aflatoksin, T-2 toksin, zealarenon, dan DON. Racun aflatoksin hampir selalu
dijumpai pada jagung di Indonesia dengan kadar bervariasi antara 20-2.000 ppb
(Tangendjaja dan Rachmawati 2006). Racun ini dapat menimbulkan kanker hati pada
ternak terutama itik yang sangat sensitif terhadap racun aflatoksin dan menekan
kekebalan tubuh sehingga dapat menurunkan produksi.
Jagung juga
mengandung senyawa anti nutrisi berupa asam fitat yang dapat menghambat
penyerapan mineral dalam tubuh (Proll et al. 1998; Faber et al.
2005; Onofiok dan Nnanyelugo 2006). Asam fitat (mio-inositol heksakisfosfat)
merupakan bentuk penyimpanan fosfor yang terbesar pada tanaman serealia dan
leguminosa. Di dalam biji, fitat merupakan sumber fosforus dan inositol utama
bagi tanaman, terdapat dalam bentuk garam dengan kalium, kalsium, magnesium,
dan logam lain. Pada kondisi alami, asam fitat akan membentuk ikatan baik
dengan mineral bervalensi dua (Ca, Mg, Fe), maupun protein menjadi senyawa yang
sukar larut. Hal ini menyebabkan mineral dan protein tidak dapat diserap tubuh,
atau nilai cernanya rendah, oleh karena itu asam fitat dianggap sebagai
antinutrisi pada bahan pangan. Ketidaklarutan fitat pada beberapa keadaan
merupakan salah satu faktor yang secara nutrisional dianggap tidak menguntungkan,
karena dengan demikian menjadi sukar diserap tubuh. Dengan adanya perlakuan
panas, pH, atau perubahan kekuatan ionik selama pengolahan dapat mengakibatkan
terbentuknya garam fitat yang sukar larut.
CARA
MENGATASI
PENGOLAHAN
LIMBAH JAGUNG
Upaya
peningkatan kualitas tongkol jagung sebagai pakan ruminasia dapat dilakukan
dengan perlakuan fisik, kimiawi, biologi atau gabungan perlakuan tersebut.
Perlakuan fisik dengan pencacahan dapat digabungkan dengan perlakuan kimiawi
berupa amoniasi dan perlakuan biologi yaitu fermentasi menggunakan starter
mikrobia sellulolitik. Salah satu fungsi amoniasi adalah memutus ikatan
lignoselulosa dan hemiselulosa serta menyediakan sumber N untuk mikrobia,
sedangkan fungsi fermentasi adalah dapat menurunkan serat kasar dan sekaligus
meningkatkan kecernaan bahan pakan berserat. Proses fermentasi bertujuan
menurunkan kadar serat kasar, meningkatkan kecernaan dan sekaligus meningkatkan
kadar protein kasar (Tampoebolon, 1997). Penggunaan teknologi amoniasi fermentasi,
dapat meningkatkan kandungan protein kasar tongkol jagung dengan menurunkan
kandungan serat kasar, serta meningkatkan kecernaan tongkol jagung, sehingga
dapat digunakan sebagai alternatif pakan yang baik untuk ternak ruminansia.
Penggunaan limbah tanaman jagung sebagai pakan dalam
bentuk segar adalah yang termudah dan termurah tetapi pada saat panen hasil
limbah tanaman jagung ini cukup melimpah maka sebaiknya disimpan untuk stok
pakan pada saat musim kemarau panjang atau saat kekurangan pakan hijauan. Di
Indonesia, kebanyakan petani akan memberikan tanaman jagung secara langsung
kepada ternaknya tanpa melalui proses sebagaimana yang dilakukan oleh peternak
komersial sapi perah yang ada di Sumatera Utara (Sitepu, komunikasi pribadi)
ataupun di Jawa Timur (Wibowo, komunikasi pribadi).
Di daerah Indonesia bagian Timur, jerami jagung selain
diberikan dalam bentuk segar, dapat dikeringkan atau diolah menjadi pakan awet
seperti pelet, cubes dan disimpan untuk cadangan pakan ternak (Nulik et al.,
2006). Sedangkan di Amerika dan negara lain seperti Argentina dan Brazil
yang merupakan negara produsen jagung, limbah jagung sangat berlimpah (Mccutcheon
dan Samples, 2002). Pengolahan limbah jagung merupakan hal yang diperlukan agar
kontinuitas pakan terus terjamin. Walaupun sebagian besar limbah tersebut
diberikan kepada ternak dengan cara menggembalakan ternak langsung di areal
penanaman setelah jagung dipanen, namun sebagian limbah tersebut diproses atau
disimpan dengan cara dibuat hay (menjadi jerami jagung kering) atau
diawetkan dalam bentuk silase sebagai pakan cadangan (Mccutcheon dan Samples,
2002).
Beberapa teknologi pengolahan limbah jagung (Gambar
1) yang telah dikenal antara lain adalah:
-
Pembuatan hay
Di Indonesia, hay dengan mudah dibuat dengan membiarkan
sisa panen jagung di bawah terik matahari sehingga diperoleh jerami jagung yang
kering, Di luar negeri yang jumlah limbahnya setelah panen sangat melimpah dan
waktu panen sudah mendekati musim dingin, maka pembuatan hay harus
menggunakan mesin pengering. Setelah kering, hay dikumpulkan dan dipadatkan
menyerupai gelondongan kemudian ditutup dengan plastik agar tidak kehujanan
untuk digunakan sebagai persediaan pakan ternak selama musim dingin. Penyimpanan
hay di tempat kering merupakan hal yang harus dipraktekkan. Kondisi yang
panas dan lembab di Indonesia sangat memudahkan tumbuhnya jamur pada hay yang
menjadi basah bila penyimpanannya kurang baik.
-
Pembuatan silase
Limbah jagung yang dapat dibuat silase adalah seluruh
tanaman termasuk buah mudanya atau buah yang hampir matang atau limbah yang
berupa tanaman jagung setelah buah dipanen dan kulit jagung. Tanaman jagung
yang tersisa dari panen jagung masih cukup tinggi kadar airnya. Untuk pembuatan
silase, dibutuhkan kadar air sekitar 60%. Oleh sebab itu, tanaman jagung harus
dikeringkan sekitar 2 – 3 hari.
Limbah dipotong menjadi potongan-potongan kecil lalu
dimasukkan sambil dipadatkan sepadat mungkin ke dalam kantong-kantong plastik
kedap udara atau dalam silo-silo yang berbentuk bunker (Nusio, 2005).
Bila dalam proses pembuatan silase suasana kedap udara tidak 100% maka bagian
permukaan silase sering terkontaminasi dan ditumbuhi oleh bakteri lain yang merugikan
seperti bakteri Clostridium tyrobutyricum yang mampu mengubah asam
laktat menjadi asam butirat (Driehuis dan Giffel, 2005). Bila seluruh tanaman
jagung termasuk buahnya dibuat menjadi silase maka karbohidrat terlarut yang dibutuhkan
untuk pertumbuhan bakteri sudah mencukupi. Bila yang dibuat silase hanya jerami
jagung atau kulit jagung, maka perlu ditambahkan molases sebagai sumber
karbohidrat terlarut atau dapat pula ditambahkan starter (bakteri atau
campurannya) untuk mempercepat terjadinya silase. Mikroba yang ditambahkan
biasanya bakteri penghasil asam laktat seperti Lactobacillus plantarum, Lactobacillus
casei, Lactobacillus lactis, Lactobacillus bucheneri, Pediocococcus
acidilactici, Enterococcus faecium, yang menyebabkan pH silase cepat turun
(Nusio, 2005).
Proses silase akan memakan waktu kurang lebih 3 minggu
bila tidak ditambah starter. Produk silase jagung yang baik atau sudah
jadi ditandai dengan bau yang agak asam karena pH silase biasanya rendah (sekitar
4) dan berwarna coklat muda karena warna hijau daun dari khlorofil akan hancur
sehingga limbah menjadi kecoklatan. Bila ditambah molases, silase yang dihasilkan
agak berbau sedikit harum. Walaupun baunya agak asam, akan tetapi cukup
palatabel bagi ternak.
Silase merupakan proses yang sangat umum dilakukan
di negara-negara yang mempunyai 4 musim karena pada musim dingin, tidak tersedia
stok rumput segar untuk diberikan ternak. Banyak sekali penelitian yang telah
dilaporkan untuk melihat pengaruh jenis tanaman jagung, ukuran cacahan, umur
panen, dan sebagainya. terhadap kualitas silase maupun performans ternak (Johnson
et al., 2003; Neylon dan Kung, 2003), namun sampai saat ini proses
adopsi teknologi ini tetap saja rendah di tingkat peternak padahal di Indonesia
terutama di daerah Indonesia bagian Timur sering terjadi kemarau panjang yang mengakibatkan
kekurangan pakan berkualitas. Kendala yang dihadapi kemungkinan adalah tidak
adanya ruang penyimpanan yang memadai. Bila silase dibuat dalam kantong
plastik, dibutuhkan suasana kedap udara dan plastik tidak boleh robek atau
bocor. Gigitan tikus biasanya merupakan penyebab utama kantong plastic robek/bocor.
Kendala lain adalah tidak adanya tambahan modal
untuk menyediakan/membeli kantong plastik atau ember/drum plastik. Kurangnya
waktu untuk membuat silase karena petani biasanya sibuk untuk mengeringkan
hasil panen biji-biji jagung terlebih dahulu.
Selain dibuat hay dan silase, limbah jagung
dapat juga diamoniasi. Amoniasi dapat dilakukan sebelum dibuat silase dengan
menambahkan urea sebanyak 34 g per kg limbah. Literatur mengenai proses
amoniasi jerami jagung masih terbatas, sebaliknya amoniasi telah sering
dilakukan untuk limbah pertanian yang lain misalnya jerami padi. Sifat basa
dalam proses amoniasi akan membengkakkan serat/memotong ikatan glikosida di
dalam selulosa (proses swelling) sehingga serat menjadi mudah dihancurkan
oleh mikroba-mikroba di dalam rumen.
-
Fermentasi
Proses fermentasi juga telah dilakukan terhadap limbah
tanaman jagung. Pamungkas et al. (2006) menggunakan Pleurotus
flabelatus untuk fermentasi jerami jagung. Jamur Pleurotus merupakan jamur pembusuk
putih (white rot fungi). Jamur ini dapat mengeluarkan enzim-enzim
pemecah selulosa dan lignin sehingga kecernaan bahan kering jerami jagung akan
meningkat. Sedangkan Rohaeni et al. (2006a) menggunakan Trichoderma
virideae untuk memfermentasi tongkol jagung. Sebelum proses fermentasi
dilakukan, diperlukan mesin penghancur/ penggiling tongkol jagung sehingga
diperoleh ukuran partikel tongkol jagung sebesar butiran biji jagung.
APLIKASI PADA TERNAK
Limbah jagung dalam bentuk kering, untuk ternak ruminansia
dapat diberikan 30 – 40% dari jumlah pakan yang diberikan. Bila diberikan
diatas komposisi tersebut menyebabkan kandungan gizi yang didapat oleh ternak
kurang berimbang, akibatnya ternak akan menerima kelebihan energi namun mengalami
defisiensi protein (Saun, 1991 dalam Yasa dan Adijaya, 2004).
Penggunaan tongkol
jagung yang telah difermentasi dengan Aspergillus niger sebanyak 50% dalam
konsentrat pada sapi PO yang mendapat pakan basal jerami padi mampu
menghasilkan pertambahan bobot hidup harian (PBBH) yang tidak berbeda nyata
dengan sapi PO yang diberi pakan konsentrat tanpa tongkol jagung, sehingga
penggunaan tongkol jagung dalam konsentrat sebanyak 50% mampu meningkatkan
nilai keuntungan (Anggraeny et al., 2008).
Menurut Tangendjaja dan Gunawan, (1988), menyatakan
bahwa janggel jagung banyak digunakan terutama untuk penggemukan sapi, dengan
komposisi sebanyak 20% dari seluruh pakan yang diberikan. Jika seluruh pakan
sapi sebanyak 7,5 kg/ekor/hari maka komposisi 20% menjadi 1,5 kg/ekor/hari. Jika
dalam 1 ha tanaman jagung dihasilkan 2.748 kg janggel jagung (Varietas Bima-4),
dengan pemberian 1,5 kg janggel/ekor/hari, akan dapat memenuhi kebutuhan sapi
sebanyak 5,02 ekor/tahun. Bila luas penanaman jagung di NTB tahun 2010 seluas
97.120 ha, maka akan dapat memenuhi pakan sapi sebanyak 487.542 ekor.
Silase jagung HC (dipotong setinggi 45,7cm dari
tanah) mempunyai kecernaan NDF yang lebih tinggi. Sapi laktasi yang diberi
pakan silase ini, produksi susunya yang cenderung lebih tinggi dibanding yang
diberi silase jagung NC (dipotong setinggi 12,7 cm dari tanah) (Neylon and Kung
2003).
Di
Irlandia Utara, silase jagung digunakan untuk menggantikan sebagian silase
rumput yang telah digunakan terlebih dahulu dan penelitian menunjukkan bahwa
pemberian silase jagung dapat meningkatkan konsumsi hijauan (1,5 kg BK/hari,
lebih tinggi dari kontrol). Begitu pula, produksi, lemak, dan protein susu
masing-masing lebih tinggi 1,4 kg/hari, 0,6 g/kg, dan 0,8 g/ kg dari kontrol
(Keady 2005).
Di beberapa kabupaten di Indonesia, telah dilakukan
pengkajian integrasi jagung dengan ternak, terutama sapi. Dibandingkan dengan
pakan tradisional, pemberian limbah tanaman jagung dalam bentuk hay, silase, atau
fermentasi dapat meningkatkan bobot badan harian sapi (Anggraeny et al. 2005,
Rohaeni et al. 2006, Sariubang et al. 2006). Di Jawa Timur, pemberian tumpi
jagung meningkatkan bobot badan ternak dan mengurangi biaya pakan (Pamungkas et
al. 2006). Penggunaan tongkol jagung sebagai sumber serat bagi ternak
ruminansia perlu diikuti oleh penambahan bahan lain sebagai sumber protein,
mineral, dan vitamin agar ternak dapat tumbuh optimum. Sistem usahatani
integrasi jagung dengan sapi juga mampu memberikan keuntungan yang lebih besar,
karena lebih efisien dalam penyediaan pakan ternak dan bahan organik.
DAFTAR PUSTAKA
ANGGRENY,
Y.N., U. UMIYASIH, and D. PAMUNGKAS. 2005. Pengaruh
suplementasi multi nutrien terhadap performans sapi
potong yang
memperoleh pakan basal
jerami jagung. Pros. Sem. Nas. Teknologi Peternakan dan Veteriner. p. 147-152.
ANGGRENY,
Y.N., U. UMIYASIH, and N.H. KRISHNA. 2006. Potensi limbah
jagung siap rilis sebagai sumber hijauan sapi
potong. Prosiding Lokakarya
Nasional Jejaring
Pengembangan Sistem Integrasi Jagung-Sapi. Puslitbangnak, Pontianak, 9-10
Agustus 2006. p.149-153.
Direktorat
Jendral Produksi Peternakan. 2000. Buku Statistik Peternakan,
Departemen Pertanian, Jakarta.
DRIEHUIS,
F and M.C. GIFFEL. 2005. Butyric acid bacteria spores in whole
crop maize silages. In: Silage production and
utilization. R.S. Park and
M.D>. Stronge
(Eds.). Wageningen Academic Publ., the Netherlands. p. 271.
INDRANINGSIH,
1988. Pengenalan keracunan pestisida golongan organofosfat
pada ruminansia. Pros. Seminar Nasional Peternakan
dan Veteriner jilid I.
Puslitbang Peternakan, Bogor 18-19 Nopember 1997: 104-109
INDRANINGSIH,
1998. Pengenalan keracunan pestisida golongan organofosfat
pada ruminansia. Pros. Seminar Nasional Peternakan
dan Veteriner, jilid I.
Puslitbang Peternakan
pp: 104–109.
INDRANINGSIH,
R. MARYAM, R. MILTON and R.B. MARSHALL. 1988.
Organochlorine pesticide residues in bird eggs. Penyakit
Hewan. XX (36):
98–100.
INDRANINGSIH,
R. WIDIASTUTI dan R. MARYAM. 1999. Pengaruh
pemberian arang aktif terhadap perubahan enzim dan
kadar theobromin
pada kambing. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan
Veteriner.
Puslitbang Peternakan. Pp: 615–620.
INDRANINGSIH
dan Y. SANI, 2004. Residu pestisida pada produk sapi:
masalah dan alternative penanggulangannya. Wartazoa
14(1): 1–13.
INDRANINGSIH,
Y. SANI, R. WIDIASTUTI, E.MASBULAN and G.A.
BONWICK. 2004. Minimalization of pesticide residues
in animal
products. Pros. Seminar
Nasional Parasitologi dan Toksikologi. Balai Penelitian Veteriner–Department
for International Development (UK). Pp: 105–126.
INDRANINGSIH
dan Y. SANI. 2005. Kajian kontaminasi pestisida pada limbah
padi sebagai pakan ternak dan alternative penanggulangannya.
Pros.
Seminar Nasional Pengembangan Usaha Peternakan
Berdaya Saing di
Lahan Kering. Puslitbang Peternakan – UGM. Pp:
108–119.
INDRANINGSIH,
Y. SANI and R. WIDIASTUTI. 2005. Evaluation of farmers
appreciation in reduing pesticide by organic farming
practice. Indo. Jof
Agric. Sci.
6(2): 59–68.
MARYAM.
R. 2006. Pengendalian terpadu kontaminasi mikotoksin. Wartazoa.
16(1): 21- 30.
MATHIUS,
I.W., dan A.P. SINURAT. 2001. Pemanfaatan bahan pakan
inkonvensional untuk ternak. Wartazoa 11 (2):
20–31.
MATONDANG,
R.H. dan A.Y. FADWIWATI. 2000. Pemanfaatan jerami jagung
fermentasi pada sapi dara Bali (Sistem Integrasi
Jagung Sapi). Pros.
Lokakarya Nasional Tanaman Pakan Ternak.
Puslitbang Peternakan. Pp:
104–108.
NEUMANN,
C.B. 1988. The occurence and variation of organochlorine pesticide
residues detected in Australian livestock at
slaughter. Acta Vet. Scan. 84:
299–302.
NEYLON,
J.M. and L. KUNG, Jr. 2003. Effects of cutting height and maturity on
the nutritive value of corn silage for lactating
cows. J Dairy Sci 86: p.
2163-2169.
NRC
(National Research Council). 1994. Nutrient Requirements of Domestic
Animals.
NRC.
1998. Nutrient Requirements of swine: 10th rev.ed. Natl. Res. Counc., Natl.
Acad. Press, Washington, DC.
NRC.
2001. Nutrient Requirements of dairy cattle, 7th rev.ed. Natl. Res. Counc.,
Natl. Acad. Press, Washington, DC.
NUSIO,
L.G. 2005. Silage production from tropical forages. In: Silage production
and utilization. Park, R.S. and Stronge, M.D.
(Eds.). Wageningen
Academic Publ., the Netherlands: p. 97-107.
NJAU,
B.C., 1988. Pesticide poisoning in livestock in Northern Tanzania cases
investigated 1977-1978. Bull of Animal Health and
Production in Africa 36(2):170
RANGKUTI,
M. and A. DJAJANEGARA. 1983. The utilization of agricultural
by-products and wastes in Indonesia. Proc. of the
Workshop on Organic
Residues in Rural Communities Bali.
11-12 Dec. 1979. ed. C. A.
Shacklady. UNUP, Tokyo. pp: 23–27.
ROHENI,
E.S., N. AMALI, and A. SUBHAN. 2006. Janggel jagung fermentasi
sebagai pakan
alternatif untuk ternak sapi pada musim kemarau. Prosiding Lokakarya Nasional
Jejaring Pengembangan Sistem Integrasi Jagung-Sapi. Puslitbangnak, Pontianak,
9-10 Agustus 2006, p. 193-196
Tidak ada komentar:
Posting Komentar