Selasa, 27 Februari 2018

Hasil Sampingan Limbah jagung

PEMANFAATAN LIMBAH JAGUNG (TONGKOL, KLOBOT, DAN JERAMI) SEBAGAI PAKAN TERNAK


PEMANFAATAN LIMBAH JAGUNG (TONGKOL, KLOBOT, DAN JERAMI) SEBAGAI PAKAN TERNAK
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Faktor utama penentu keberhasilan dalam usaha peternakan adalah penyediaan pakan. Salah satu penyediaan pakan bagi ternak ruminansia adalah dengan pemanfaatan pakan asal sisa hasil pertanian, perkebunan maupun agroindustri. Salah satu sisa tanaman pangan dan perkebunan yang mempunyai potensi cukup besar adalah jagung. Apabila limbah yang banyak tersebut tidak dimanfaatkan, maka akan memicu terjadinya pencemaran lingkungan. Pencemaran lingkungan merupakan masalah kita bersama, yang semakin penting untuk diselesaikan, karena menyangkut keselamatan, kesehatan, dan kehidupan kita. Siapapun bisa berperan serta dalam menyelesaikan masalah pencemaran lingkungan ini, termasuk kita. Dimulai dari lingkungan yang terkecil, diri kita sendiri, sampai ke lingkungan yang lebih luas. Untuk itu, agar pencemaran limbah dapat diminimalisir perlu adanya pemanfaatan limbah agar mempunyai daya guna.
Tanaman jagung merupakan salah satu tanaman serelia yang tumbuh hampir di seluruh dunia dan tergolong spesies dengan variabilitas genetic tebesar. Di Indonesia jagung merupakan bahan makanan pokok kedua setelah padi. Banyak daerah di Indonesia yang berbudaya mengkonsumsi jagung, antara lain Madura, Yogyakarta, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur, dll.
Seiring dengan kebutuhan jagung yang cukup tinggi, maka akan bertambah pula limbah yang dihasilkan dari industri pangan dan pakan berbahan baku jagung. Salah satu contoh sampah organik adalah kulit jagung yang merupakan limbah sector pertanian. Limbah kulit jagung yang sudah tak terpakai ini bisa dimanfaatkan sebagai kerajinan tangan. Sehingga limbah kulit jagung ini tidak menjadi sampah yang mencemari lingkungan. Kerajinan tangan dari kulit jagung bisa bernilai ekonomis. Namun pada dasarnya limbah jagung berupa kulit jagung atau klobot jagung sampai saat ini pemanfaatannya kurang maksimal, padahal jumlahnya sangat melimpah ruah. Jika dibakar menimbulkan pencemaran udara, jika dibuang ke sungai menyebabkan banjir, tumpukannya bisa menyebabkan sarang penyakit.
Limbah yang dihasilkan diantaranya adalah jerami, klobot, dan tongkol jagung yang biasanya tidak dipergunakan lagi ataupun nilai ekonominya sangat rendah.  
-          Jerami jagung/brangkasan adalah bagian batang dan daun jagung yang telah dibiarkan mengering di ladang dan dipanen ketika tongkol jagung dipetik. Jerami jagung seperti ini banyak diperoleh di daerah sentra tanaman jagung yang ditujukan untuk menghasilkan jagung bibit atau jagung untuk keperluan industri pakan; bukan untuk dikonsumsi sebagai sayur (Mariyono et al., 2004).
-          Kulit buah jagung/klobot jagung adalah kulit luar buah jagung yang biasanya dibuang. Kulit jagung manis sangat potensial untuk dijadikan silase karena kadar gulanya cukup tinggi (Anggraeny et al., 2005; 2006).
-          Tongkol jagung/janggel adalah limbah yang diperoleh ketika biji jagung dirontokkan dari buahnya. Akan diperoleh jagung pipilan sebagai produk utamanya dan sisa buah yang disebut tongkol atau janggel (Rohaeni et al., 2006b).
POTENSI
-          Jumlah dan Kandungan Limbah Jagung
Salah satu sisa tanaman pangan dan perkebunan yang mempunyai potensi cukup besar adalah tongkol jagung. Luas lahan panen tanaman jagung wilayah Provinsi Jawa Tengah tahun 2011 yaitu 520.149 ha, dengan hasil tongkol jagung lebih kurang sebanyak 2.772.575 ton. Potensi pengembangan lahan jagung di NTB seluas 404 ribu hektar lebih, tetapi yang baru tertanami pada tahun 2010 seluas 97.120 hektar, dengan rincian musim hujan seluas 74.185 hektar dan musim kemarau seluas 22.935 hektar (DIPERTA NTB, 2011). Jika luas areal penanaman jagung di NTB pada Musim hujan adalah 74.185 hektar, dengan asumsi jumlah brangkasan kering jagung (varietas Bima-4) sebanyak 4.026 kg/ha/musim, dengan kebutuhan sapi sebanyak 7,5 kg/ekor/hari maka akan dapat memenuhi kebutuhan pakan sapi sebanyak 109.051 ekor/tahun pada musim hujan.
Tongkol jagung atau janggel, merupakan bagian dari buah jagung setelah biji dipipil. Kandungan nutrisi tongkol jagung berdasarkan analisis di Laboratorium Ilmu Makanan Ternak meliputi kadar air, bahan kering, protein kasar dan serat kasar berturut-turut sebagai berikut 29,54; 70,45; 2,67 dan 46,52% dalam 100% bahan kering BK).
Jerami jagung yang kering ataupun yang dibuat silase tidak dapat digunakan sebagai sumber karotenoid karena kandungan karotenoidnya sangat rendah yaitu 70 – 80 mg/kg, terdiri dari 3 – 10 mg/kg epilutein, 25 – 37 mg/kg lutein, 6 – 10 mg/kg zeaxanthin, 24 – 35 mg/kg β- karoten (Noziere et al., 2006). Oleh sebab itu, bila sapi perah diberi silase jerami jagung sebagai sumber hijauan, sangat dianjurkan untuk memberikan tambahan β-karoten dari sumber lain karena kebutuhan karoten dan vitamin A sapi perah yang tinggi yaitu masing-masing 280 IU/kg bobot hidup dan 110 IU/ kg bobot hidup per hari (NRC, 2001).
Dari hasil analisis proksimat (%) yang dilakukan oleh Akil, et al (2004), bahwa kelobot jagung lebih rendah dari brangkasan, kandungan protein kasar kelobot jagung 3 kali protein kasar brangkasan, dan lemak kasar kelobot 2 kali lemak kasar brangkasan.
Nilai nutrisi dari limbah tanaman dan hasil samping industri jagung sangat bervariasi (Tabel 1 dan 2). Kulit jagung mempunyai nilai kecernaan bahan kering in vitro yang tertinggi (68%) sedangkan batang jagung merupakan bahan yang paling sukar dicerna di dalam rumen (51%) (Mccutcheon dan Samples, 2002). Nilai kecernaan kulit jagung dan tongkol (60%) ini hampir sama dengan nilai kecernaan rumput Gajah sehingga kedua bahan ini dapat menggantikan rumput Gajah sebagai sumber hijauan. Total nutrien tercerna (TDN) yang tertinggi terkandung pada silase tanaman jagung termasuk buah yang matang sedangkan yang terendah dijumpai pada tongkol (Tabel 2). Faktor yang penting dalam menyusun ransum komplit adalah nilai TDN. Kebutuhan TDN untuk penggemukan sapi potong maupun sapi perah cukup tinggi dan syarat minimum TDN dapat dilihat dalam NRC (2001).
-          Kualitas
Palatabilitas tongkol jagung yang rendah masih dapat dimanfaatkan sebagai pakan ruminansia dengan pengolahan terlebih dahulu (Wardhani dan Musofie, 1991). Peningkatan kualitas nutrisi pada tongkol jagung melalui pengurangan ukuran partikel dan fermentasi secara nyata dapat meningkatkan protein kasar, namun tidak mampu memperbaiki nilai nutrisi pada serat kasar maupun pada total digestible nutrients (TDN).
Nilai palatabilitas yang diukur secara kualitatif menunjukkan bahwa daun dan kulit jagung lebih disukai oleh ternak dibandingkan dengan batang ataupun tongkol (Wilson et al., 2004). Nilai proporsi limbah yang hampir sama dilaporkan oleh Anggraeny et al. (2006) yaitu limbah dari beberapa varietas jagung yang dikembangkan oleh Balai Penelitian Jagung dan Serealia, Maros. Proporsi batang bervariasi antara 55,38 – 62,29%, proporsi daun antara 22,57 – 27,38% dan proporsi klobot antara 11,88 – 16,41%. Dalam studi Anggraeny et al. (2006), tongkol jagung tidak diperhitungkan dalam proporsi limbah
Brangkasan jagung baik diberikan untuk ternak sapi karena mengandung serat dan protein yang cukup. Pakan dari brangkasan jagung memiliki kualitas yang lebih baik dari jerami padi, karena brangkasan jagung memiliki kandungan serat kasar 27,8% dan protein 7,4% sementara padi kandungan serat kasar 28,8% dan protein 4,5% (Subandi dan Zubachtirodin, 2004).
-          Proses 
Beberapa pendekatan untuk meningkatkan mutu limbah hasil petanian dan perkebunan sebagai pakan ternak telah dikembangkan, antara lain melalui pengolahan (pretreatment) limbah hasil pertanian, suplementasi pakan dan pemilihan limbah pertanian dan perkebunan.
Peningkatan mutu limbah hasil pertanian dan perkebunan sebagai pakan ternak umumnya dilakukan melalui pengolahan terlebih dahulu sebelum limbah pertanian dan perkebunan diberikan kepada ternak, yang secara garis besarnya terdiri dari:
1. Perlakuan fisik: pemotongan menjadi bagian yang lebih kecil, penggilingan, pemanasan, perendaman, pengeringan atau penyinaran.
2. Perlakuan kimia: dengan penambahan basa, asam dan oksidasi seperti penambahan NaOH, Ca(OH)2, ammonium hidroksida, gas klor dan sulfur dioksida.
3. Perlakuan biologi: melalui pengomposan, fermentasi, penambahan enzim, atau menumbuhkan jamur dan bakteri.
4. Kombinasi diantara ketiga perlakuan tersebut diatas.
Metoda fisik yang terdiri dari pemotongan, pemanasan, penggilingan, pengeringan dan penyinaran diketahui tidak akan merubah nilai nutrisi suatu bahan pakan ternak. Oleh karena itu pendekatan ini jarang dilakukan dalam penyediaan pakan untuk ternak. Namun demikian metoda ini khususnya pemanasan dan pengeringan dapat digunakan untuk mengurangi toksisitas suatu tanaman.
Sementara itu, metoda kimiawi yang terdiri dari penambahan asam, basa dan oksidasi merupakan metoda yang sering diterapkan peternak untuk meningkatkan mutu nutrisi pakan ternak (Doyle et al., 1986). Penambahan basa merupakan pengolahan bahan pakan ternak yang paling banyak dilakukan untuk meningkatkan mutu nutrisi pakan ternak. Tujuan penambahan senyawa basa ini adalah untuk memecah ikatan ester lignohemiselulosa sehingga meningkatkan kecernaan pakan tersebut. Larutan basa yang umum digunakan terdiri dari sodium hidroksida (NaOH), kalsium hidroksida [Ca(OH)2], potasium hidroksida (KOH), urea dan larutan karbon kaustik.
Pemberian jerami jagung, tumpi atau tongkol ada kalanya dicampur dengan sumber serat lainnya seperti rumput Gajah (Mariyono et al., 2004) atau jerami padi (Umiyasih et al., 2004). Hal ini dilakukan bila ketersediaan sumber serat lain melimpah. Pemberian pakan tambahan/suplemen selain jerami, tumpi atau tongkol jagung dapat meningkatkan PBHH. Pemberian jerami jagung yang difermentasi tanpa pakan konsentrat memberikan PBHH sapi yang paling rendah (0,46 kg/hari) dibandingkan dengan penelitian lain. Sedangkan pemberian pakan suplemen seperti dedak menyebabkan PBHH yang lebih baik (Mariyono et al., 2005). PBHH akan semakin tinggi bila pemberian jerami disertai dengan konsentrat dan juga suplemen multi nutrien (Anggraeny et al., 2005), atau vitamin dan mineral (Umiyasih et al., 2006).
Dalam memanfaatkan limbah hasil pertanian dan perkebunan sebagai pakan ternak, seleksi jenis limbah tanaman perlu dilakukan untuk mengurangi efek samping terhadap kesehatan ternak dan keamanan produknya. Seleksi dapat dilakukan dengan mengetahui terlebih dahulu mutu nutrisi pakan limbah pertanian dan perkebunan, kandungan toksin dan/atau antinutrisi didalam tanaman dan cemaran berbahaya pada tanaman. Seiring dengan meningkatnya aktivitas pertanian organik saat ini, maka limbah hasil pertanian organik tersebut merupakan alternatif yang dapat diterapkan untuk mendapatkan pakan limbah yang mampu mengurangi resiko terjadinya residu bahan beracun berbahaya pada produk ternak serta mengurangi ancaman terhadap kesehatan ternak. Pertanian organik merupakan salah satu pendekatan alternatif untuk meminimalisasi residu pestisida baik pada produk ternak, pertanian maupun kontaminasi pada lahan pertanian. Indraningsih et al., (2004) melakukan serangkaian pengamatan penggunaan limbah hasil pertanian organic sebagai pakan terhadap residu pestisida pada produk ternak.
KENDALA
Tanaman jagung termasuk jenis tanaman pangan yang diketahui banyak mengandung serat kasar dimana tersusun atas senyawa kompleks lignin, hemiselulose dan selulose (lignoselulose), dan masing-masing merupakan senyawa-senyawa yang potensial dapat dikonversi menjadi senyawa lain secara biologi. Selulose merupakan sumber karbon yang dapat digunakan mikroorganisme sebagai substrat  dalam proses fermentasi untuk menghasilkan produk yang mempunyai nilai ekonomi tinggi (Aguirar, 2001; Suprapto dan Rasyid, 2002).
Tongkol jagung merupakan sisa hasil pertanian yang masih memiliki kualitas yang rendah. Tongkol jagung digunakan sebagai bahan konsentrat pada pakan ternak ruminansia. Kandungan serat kasar tinggi, protein dan kecernaan rendah. Oleh karena itu, dalam pemanfaatannya sebagai bahan pakan, tongkol jagung perlu ditingkatkan kualitasnya antara lain dengan teknologi pengolahan amoniasi fermentasi (amofer).
Limbah perkebunan jagung bukanlah pakan yang berkualitas baik karena mengandung kadar protein dan karotenoid yang rendah dan kadar serat yang tinggi dan juga mudah ditumbuhi cendawan pada kondisi suhu panas.. Bila limbah perkebunan ini diberikan kepada ternak tanpa disuplementasi atau diberi perlakuan sebelumnya maka nutrisi limbah ini tidak akan cukup untuk mempertahankan kondisi ternak. Oleh sebab itu, disarankan pencampuran jerami jagung dengan leguminosa sebagai sumber protein ketika akan diberikan ke ternak atau bila hendak dibuat silase (Kaiser dan Piltz, 2002).
Penggunaan limbah hasil pertanian/perkebunan sebagai pakan ternak terlihat mudah dan ekonomis, namun perlu memperhatikan akan timbulnya residu kimiawi di dalam produk ternak yang dihasilkan serta kandungan antinutrisi atau toksin yang terdapat di dalam limbah hasil pertanian tersebut. Beberapa tanaman pangan maupun perkebunan dilaporkan terdapat toksin dan antinutrisi yang dapat mempengaruhi kesehatan ternak.
Pada tanaman jagung biasanya terdapat Pestisida dan Mikotoksin. Pestisida ternyata memiliki beberapa kelemahan berupa efek samping terhadap kesehatan ternak dan manusia yang bukan merupakan target utamanya. Efek toksik dari pestisida terhadap berbagai hewan non-target seperti unggas, sapi dan bahkan manusia telah banyak dilaporkan (Sabrani dan Setioko, 1983; Indraningsih, 1988; Njau, 1988).
Keracunan pestisida organofosfat (OP) pada sapi perah di Jawa Barat terlihat setelah diberi pakan hijauan yang terkontaminasi yang meliputi hiperemia mata, eksudasi cairan mukus pada mata, hipersalivasi, diare, sesak napas dan kematian ternak (Indraningsih, 1988). Disamping itu residu pestisida dapat terbentuk di dalam produk ternak akibat penggunaan yang berlebihan tanpa mengikuti petunjuk aturan pakai yang telah disarankan oleh produsen. Residu pestisida dalam produk ternak dapat mempengaruhi kesehatan masyarakat sebagai konsumen produk ternak tersebut seperti gejala keracunan, imunosupresi dan karsinogenik (Goebel et al., 1982; Varsheya et al., 1988).
Jagung mudah ditumbuhi cendawan (mikotoksin) bila kadar airnya lebih dari 14% atau aw = 0,62. Cendawan akan lebih mudah tumbuh kalau jagung basah disimpan di ruangan yang panas dan lembab. Apabila cendawan yang tumbuh menghasilkan racun maka racun tersebut berpengaruh buruk terhadap ternak. Beberapa jenis racun cendawan atau mikotoksin ditemukan pada jagung, termasuk aflatoksin, T-2 toksin, zealarenon, dan DON. Racun aflatoksin hampir selalu dijumpai pada jagung di Indonesia dengan kadar bervariasi antara 20-2.000 ppb (Tangendjaja dan Rachmawati 2006). Racun ini dapat menimbulkan kanker hati pada ternak terutama itik yang sangat sensitif terhadap racun aflatoksin dan menekan kekebalan tubuh sehingga dapat menurunkan produksi.
Jagung juga mengandung senyawa anti nutrisi berupa asam fitat yang dapat menghambat penyerapan mineral dalam tubuh (Proll et al. 1998; Faber et al. 2005; Onofiok dan Nnanyelugo 2006). Asam fitat (mio-inositol heksakisfosfat) merupakan bentuk penyimpanan fosfor yang terbesar pada tanaman serealia dan leguminosa. Di dalam biji, fitat merupakan sumber fosforus dan inositol utama bagi tanaman, terdapat dalam bentuk garam dengan kalium, kalsium, magnesium, dan logam lain. Pada kondisi alami, asam fitat akan membentuk ikatan baik dengan mineral bervalensi dua (Ca, Mg, Fe), maupun protein menjadi senyawa yang sukar larut. Hal ini menyebabkan mineral dan protein tidak dapat diserap tubuh, atau nilai cernanya rendah, oleh karena itu asam fitat dianggap sebagai antinutrisi pada bahan pangan. Ketidaklarutan fitat pada beberapa keadaan merupakan salah satu faktor yang secara nutrisional dianggap tidak menguntungkan, karena dengan demikian menjadi sukar diserap tubuh. Dengan adanya perlakuan panas, pH, atau perubahan kekuatan ionik selama pengolahan dapat mengakibatkan terbentuknya garam fitat yang sukar larut.
CARA MENGATASI
PENGOLAHAN LIMBAH JAGUNG
Upaya peningkatan kualitas tongkol jagung sebagai pakan ruminasia dapat dilakukan dengan perlakuan fisik, kimiawi, biologi atau gabungan perlakuan tersebut. Perlakuan fisik dengan pencacahan dapat digabungkan dengan perlakuan kimiawi berupa amoniasi dan perlakuan biologi yaitu fermentasi menggunakan starter mikrobia sellulolitik. Salah satu fungsi amoniasi adalah memutus ikatan lignoselulosa dan hemiselulosa serta menyediakan sumber N untuk mikrobia, sedangkan fungsi fermentasi adalah dapat menurunkan serat kasar dan sekaligus meningkatkan kecernaan bahan pakan berserat. Proses fermentasi bertujuan menurunkan kadar serat kasar, meningkatkan kecernaan dan sekaligus meningkatkan kadar protein kasar (Tampoebolon, 1997). Penggunaan teknologi amoniasi fermentasi, dapat meningkatkan kandungan protein kasar tongkol jagung dengan menurunkan kandungan serat kasar, serta meningkatkan kecernaan tongkol jagung, sehingga dapat digunakan sebagai alternatif pakan yang baik untuk ternak ruminansia.     
Penggunaan limbah tanaman jagung sebagai pakan dalam bentuk segar adalah yang termudah dan termurah tetapi pada saat panen hasil limbah tanaman jagung ini cukup melimpah maka sebaiknya disimpan untuk stok pakan pada saat musim kemarau panjang atau saat kekurangan pakan hijauan. Di Indonesia, kebanyakan petani akan memberikan tanaman jagung secara langsung kepada ternaknya tanpa melalui proses sebagaimana yang dilakukan oleh peternak komersial sapi perah yang ada di Sumatera Utara (Sitepu, komunikasi pribadi) ataupun di Jawa Timur (Wibowo, komunikasi pribadi).
Di daerah Indonesia bagian Timur, jerami jagung selain diberikan dalam bentuk segar, dapat dikeringkan atau diolah menjadi pakan awet seperti pelet, cubes dan disimpan untuk cadangan pakan ternak (Nulik et al., 2006). Sedangkan di Amerika dan negara lain seperti Argentina dan Brazil yang merupakan negara produsen jagung, limbah jagung sangat berlimpah (Mccutcheon dan Samples, 2002). Pengolahan limbah jagung merupakan hal yang diperlukan agar kontinuitas pakan terus terjamin. Walaupun sebagian besar limbah tersebut diberikan kepada ternak dengan cara menggembalakan ternak langsung di areal penanaman setelah jagung dipanen, namun sebagian limbah tersebut diproses atau disimpan dengan cara dibuat hay (menjadi jerami jagung kering) atau diawetkan dalam bentuk silase sebagai pakan cadangan (Mccutcheon dan Samples, 2002).
Beberapa teknologi pengolahan limbah jagung (Gambar 1) yang telah dikenal antara lain adalah:
-          Pembuatan hay
Di Indonesia, hay dengan mudah dibuat dengan membiarkan sisa panen jagung di bawah terik matahari sehingga diperoleh jerami jagung yang kering, Di luar negeri yang jumlah limbahnya setelah panen sangat melimpah dan waktu panen sudah mendekati musim dingin, maka pembuatan hay harus menggunakan mesin pengering. Setelah kering, hay dikumpulkan dan dipadatkan menyerupai gelondongan kemudian ditutup dengan plastik agar tidak kehujanan untuk digunakan sebagai persediaan pakan ternak selama musim dingin. Penyimpanan hay di tempat kering merupakan hal yang harus dipraktekkan. Kondisi yang panas dan lembab di Indonesia sangat memudahkan tumbuhnya jamur pada hay yang menjadi basah bila penyimpanannya kurang baik.
-          Pembuatan silase
Limbah jagung yang dapat dibuat silase adalah seluruh tanaman termasuk buah mudanya atau buah yang hampir matang atau limbah yang berupa tanaman jagung setelah buah dipanen dan kulit jagung. Tanaman jagung yang tersisa dari panen jagung masih cukup tinggi kadar airnya. Untuk pembuatan silase, dibutuhkan kadar air sekitar 60%. Oleh sebab itu, tanaman jagung harus dikeringkan sekitar 2 – 3 hari.
Limbah dipotong menjadi potongan-potongan kecil lalu dimasukkan sambil dipadatkan sepadat mungkin ke dalam kantong-kantong plastik kedap udara atau dalam silo-silo yang berbentuk bunker (Nusio, 2005). Bila dalam proses pembuatan silase suasana kedap udara tidak 100% maka bagian permukaan silase sering terkontaminasi dan ditumbuhi oleh bakteri lain yang merugikan seperti bakteri Clostridium tyrobutyricum yang mampu mengubah asam laktat menjadi asam butirat (Driehuis dan Giffel, 2005). Bila seluruh tanaman jagung termasuk buahnya dibuat menjadi silase maka karbohidrat terlarut yang dibutuhkan untuk pertumbuhan bakteri sudah mencukupi. Bila yang dibuat silase hanya jerami jagung atau kulit jagung, maka perlu ditambahkan molases sebagai sumber karbohidrat terlarut atau dapat pula ditambahkan starter (bakteri atau campurannya) untuk mempercepat terjadinya silase. Mikroba yang ditambahkan biasanya bakteri penghasil asam laktat seperti Lactobacillus plantarum, Lactobacillus casei, Lactobacillus lactis, Lactobacillus bucheneri, Pediocococcus acidilactici, Enterococcus faecium, yang menyebabkan pH silase cepat turun (Nusio, 2005).
Proses silase akan memakan waktu kurang lebih 3 minggu bila tidak ditambah starter. Produk silase jagung yang baik atau sudah jadi ditandai dengan bau yang agak asam karena pH silase biasanya rendah (sekitar 4) dan berwarna coklat muda karena warna hijau daun dari khlorofil akan hancur sehingga limbah menjadi kecoklatan. Bila ditambah molases, silase yang dihasilkan agak berbau sedikit harum. Walaupun baunya agak asam, akan tetapi cukup palatabel bagi ternak.
Silase merupakan proses yang sangat umum dilakukan di negara-negara yang mempunyai 4 musim karena pada musim dingin, tidak tersedia stok rumput segar untuk diberikan ternak. Banyak sekali penelitian yang telah dilaporkan untuk melihat pengaruh jenis tanaman jagung, ukuran cacahan, umur panen, dan sebagainya. terhadap kualitas silase maupun performans ternak (Johnson et al., 2003; Neylon dan Kung, 2003), namun sampai saat ini proses adopsi teknologi ini tetap saja rendah di tingkat peternak padahal di Indonesia terutama di daerah Indonesia bagian Timur sering terjadi kemarau panjang yang mengakibatkan kekurangan pakan berkualitas. Kendala yang dihadapi kemungkinan adalah tidak adanya ruang penyimpanan yang memadai. Bila silase dibuat dalam kantong plastik, dibutuhkan suasana kedap udara dan plastik tidak boleh robek atau bocor. Gigitan tikus biasanya merupakan penyebab utama kantong plastic robek/bocor.
Kendala lain adalah tidak adanya tambahan modal untuk menyediakan/membeli kantong plastik atau ember/drum plastik. Kurangnya waktu untuk membuat silase karena petani biasanya sibuk untuk mengeringkan hasil panen biji-biji jagung terlebih dahulu.
Selain dibuat hay dan silase, limbah jagung dapat juga diamoniasi. Amoniasi dapat dilakukan sebelum dibuat silase dengan menambahkan urea sebanyak 34 g per kg limbah. Literatur mengenai proses amoniasi jerami jagung masih terbatas, sebaliknya amoniasi telah sering dilakukan untuk limbah pertanian yang lain misalnya jerami padi. Sifat basa dalam proses amoniasi akan membengkakkan serat/memotong ikatan glikosida di dalam selulosa (proses swelling) sehingga serat menjadi mudah dihancurkan oleh mikroba-mikroba di dalam rumen.
-          Fermentasi
Proses fermentasi juga telah dilakukan terhadap limbah tanaman jagung. Pamungkas et al. (2006) menggunakan Pleurotus flabelatus untuk fermentasi jerami jagung. Jamur Pleurotus merupakan jamur pembusuk putih (white rot fungi). Jamur ini dapat mengeluarkan enzim-enzim pemecah selulosa dan lignin sehingga kecernaan bahan kering jerami jagung akan meningkat. Sedangkan Rohaeni et al. (2006a) menggunakan Trichoderma virideae untuk memfermentasi tongkol jagung. Sebelum proses fermentasi dilakukan, diperlukan mesin penghancur/ penggiling tongkol jagung sehingga diperoleh ukuran partikel tongkol jagung sebesar butiran biji jagung.
APLIKASI PADA TERNAK
Limbah jagung dalam bentuk kering, untuk ternak ruminansia dapat diberikan 30 – 40% dari jumlah pakan yang diberikan. Bila diberikan diatas komposisi tersebut menyebabkan kandungan gizi yang didapat oleh ternak kurang berimbang, akibatnya ternak akan menerima kelebihan energi namun mengalami defisiensi protein (Saun, 1991 dalam Yasa dan Adijaya, 2004).
Penggunaan tongkol jagung yang telah difermentasi dengan Aspergillus niger sebanyak 50% dalam konsentrat pada sapi PO yang mendapat pakan basal jerami padi mampu menghasilkan pertambahan bobot hidup harian (PBBH) yang tidak berbeda nyata dengan sapi PO yang diberi pakan konsentrat tanpa tongkol jagung, sehingga penggunaan tongkol jagung dalam konsentrat sebanyak 50% mampu meningkatkan nilai keuntungan (Anggraeny et al., 2008).
Menurut Tangendjaja dan Gunawan, (1988), menyatakan bahwa janggel jagung banyak digunakan terutama untuk penggemukan sapi, dengan komposisi sebanyak 20% dari seluruh pakan yang diberikan. Jika seluruh pakan sapi sebanyak 7,5 kg/ekor/hari maka komposisi 20% menjadi 1,5 kg/ekor/hari. Jika dalam 1 ha tanaman jagung dihasilkan 2.748 kg janggel jagung (Varietas Bima-4), dengan pemberian 1,5 kg janggel/ekor/hari, akan dapat memenuhi kebutuhan sapi sebanyak 5,02 ekor/tahun. Bila luas penanaman jagung di NTB tahun 2010 seluas 97.120 ha, maka akan dapat memenuhi pakan sapi sebanyak 487.542 ekor.
Silase jagung HC (dipotong setinggi 45,7cm dari tanah) mempunyai kecernaan NDF yang lebih tinggi. Sapi laktasi yang diberi pakan silase ini, produksi susunya yang cenderung lebih tinggi dibanding yang diberi silase jagung NC (dipotong setinggi 12,7 cm dari tanah) (Neylon and Kung 2003).
Di Irlandia Utara, silase jagung digunakan untuk menggantikan sebagian silase rumput yang telah digunakan terlebih dahulu dan penelitian menunjukkan bahwa pemberian silase jagung dapat meningkatkan konsumsi hijauan (1,5 kg BK/hari, lebih tinggi dari kontrol). Begitu pula, produksi, lemak, dan protein susu masing-masing lebih tinggi 1,4 kg/hari, 0,6 g/kg, dan 0,8 g/ kg dari kontrol (Keady 2005).
Di beberapa kabupaten di Indonesia, telah dilakukan pengkajian integrasi jagung dengan ternak, terutama sapi. Dibandingkan dengan pakan tradisional, pemberian limbah tanaman jagung dalam bentuk hay, silase, atau fermentasi dapat meningkatkan bobot badan harian sapi (Anggraeny et al. 2005, Rohaeni et al. 2006, Sariubang et al. 2006). Di Jawa Timur, pemberian tumpi jagung meningkatkan bobot badan ternak dan mengurangi biaya pakan (Pamungkas et al. 2006). Penggunaan tongkol jagung sebagai sumber serat bagi ternak ruminansia perlu diikuti oleh penambahan bahan lain sebagai sumber protein, mineral, dan vitamin agar ternak dapat tumbuh optimum. Sistem usahatani integrasi jagung dengan sapi juga mampu memberikan keuntungan yang lebih besar, karena lebih efisien dalam penyediaan pakan ternak dan bahan organik.


DAFTAR PUSTAKA
ANGGRENY, Y.N., U. UMIYASIH, and D. PAMUNGKAS. 2005. Pengaruh
suplementasi multi nutrien terhadap performans sapi potong yang
memperoleh pakan basal jerami jagung. Pros. Sem. Nas. Teknologi Peternakan dan Veteriner. p. 147-152.
ANGGRENY, Y.N., U. UMIYASIH, and N.H. KRISHNA. 2006. Potensi limbah
jagung siap rilis sebagai sumber hijauan sapi potong. Prosiding Lokakarya
Nasional Jejaring Pengembangan Sistem Integrasi Jagung-Sapi. Puslitbangnak, Pontianak, 9-10 Agustus 2006. p.149-153.
Direktorat Jendral Produksi Peternakan. 2000. Buku Statistik Peternakan,
Departemen Pertanian, Jakarta.
DRIEHUIS, F and M.C. GIFFEL. 2005. Butyric acid bacteria spores in whole
crop maize silages. In: Silage production and utilization. R.S. Park and
M.D>. Stronge (Eds.). Wageningen Academic Publ., the Netherlands. p. 271.
INDRANINGSIH, 1988. Pengenalan keracunan pestisida golongan organofosfat
pada ruminansia. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner jilid I.
Puslitbang Peternakan, Bogor 18-19 Nopember 1997: 104-109
INDRANINGSIH, 1998. Pengenalan keracunan pestisida golongan organofosfat
pada ruminansia. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner, jilid I.
Puslitbang Peternakan pp: 104–109.
INDRANINGSIH, R. MARYAM, R. MILTON and R.B. MARSHALL. 1988.
Organochlorine pesticide residues in bird eggs. Penyakit Hewan. XX (36):
98–100.
INDRANINGSIH, R. WIDIASTUTI dan R. MARYAM. 1999. Pengaruh
pemberian arang aktif terhadap perubahan enzim dan kadar theobromin
pada kambing. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner.
Puslitbang Peternakan. Pp: 615–620.
INDRANINGSIH dan Y. SANI, 2004. Residu pestisida pada produk sapi:
masalah dan alternative penanggulangannya. Wartazoa 14(1): 1–13.
INDRANINGSIH, Y. SANI, R. WIDIASTUTI, E.MASBULAN and G.A.
BONWICK. 2004. Minimalization of pesticide residues in animal
products. Pros. Seminar Nasional Parasitologi dan Toksikologi. Balai Penelitian Veteriner–Department for International Development (UK). Pp: 105–126.
INDRANINGSIH dan Y. SANI. 2005. Kajian kontaminasi pestisida pada limbah
padi sebagai pakan ternak dan alternative penanggulangannya. Pros.
Seminar Nasional Pengembangan Usaha Peternakan Berdaya Saing di
Lahan Kering. Puslitbang Peternakan – UGM. Pp: 108–119.
INDRANINGSIH, Y. SANI and R. WIDIASTUTI. 2005. Evaluation of farmers
appreciation in reduing pesticide by organic farming practice. Indo. Jof
Agric. Sci. 6(2): 59–68.
MARYAM. R. 2006. Pengendalian terpadu kontaminasi mikotoksin. Wartazoa.
16(1): 21- 30.
MATHIUS, I.W., dan A.P. SINURAT. 2001. Pemanfaatan bahan pakan
inkonvensional untuk ternak. Wartazoa 11 (2): 20–31.
MATONDANG, R.H. dan A.Y. FADWIWATI. 2000. Pemanfaatan jerami jagung
fermentasi pada sapi dara Bali (Sistem Integrasi Jagung Sapi). Pros.
Lokakarya Nasional Tanaman Pakan Ternak. Puslitbang Peternakan. Pp:
104–108.
NEUMANN, C.B. 1988. The occurence and variation of organochlorine pesticide
residues detected in Australian livestock at slaughter. Acta Vet. Scan. 84:
299–302.
NEYLON, J.M. and L. KUNG, Jr. 2003. Effects of cutting height and maturity on
the nutritive value of corn silage for lactating cows. J Dairy Sci 86: p.
2163-2169.
NRC (National Research Council). 1994. Nutrient Requirements of Domestic
Animals.
NRC. 1998. Nutrient Requirements of swine: 10th rev.ed. Natl. Res. Counc., Natl.
Acad. Press, Washington, DC.
NRC. 2001. Nutrient Requirements of dairy cattle, 7th rev.ed. Natl. Res. Counc.,
Natl. Acad. Press, Washington, DC.
NUSIO, L.G. 2005. Silage production from tropical forages. In: Silage production
and utilization. Park, R.S. and Stronge, M.D. (Eds.). Wageningen
Academic Publ., the Netherlands: p. 97-107.
NJAU, B.C., 1988. Pesticide poisoning in livestock in Northern Tanzania cases
investigated 1977-1978. Bull of Animal Health and Production in Africa 36(2):170
RANGKUTI, M. and A. DJAJANEGARA. 1983. The utilization of agricultural
by-products and wastes in Indonesia. Proc. of the Workshop on Organic
Residues in Rural Communities Bali. 11-12 Dec. 1979. ed. C. A.
Shacklady. UNUP, Tokyo. pp: 23–27.
ROHENI, E.S., N. AMALI, and A. SUBHAN. 2006. Janggel jagung fermentasi
sebagai pakan alternatif untuk ternak sapi pada musim kemarau. Prosiding Lokakarya Nasional Jejaring Pengembangan Sistem Integrasi Jagung-Sapi. Puslitbangnak, Pontianak, 9-10 Agustus 2006, p. 193-196

Tidak ada komentar:

Posting Komentar